Banyak anak-anak yang kurang perduli terhadap tanah air dan bangsanya. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat dan mengakibatkan gejala yang sangat memprihatinkan yaitu terhadap nasionalisme dan patriotisme. Selera, gaya hidup, dan perilaku hingga pola pikir generasi muda Indonesia tidaklah berbeda jauh dengan generasi muda di belahan dunia. Anak-anak justru lebih suka menyayikan lagu-lagu barat ataupun lagu yang sedang trendsaat ini dibandingkan menyanyikan lagu lagu nasional Indonesia.
Menurut Benny Kurniawan (2012:219)
Nasionalisme adalah : Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatansebuah negara (dalam bahasa inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.
Sikap cinta tanah air merupakan sikap mencintai dan mau membangun tanah air menjadi lebih baik, sikap bangga, ikut serta dalam pembelaan negara,Mempertahankan kemerdekaan, dan menghormati adanya bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaanindonesia.Sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang 1945 pasal36B yang berbunyi “Lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya”.Setelah diatur dalam undang-undang,aturanlebihlanjutnyadiaturdalamUndang-Undang No 24 Tahun2009tentangbendera,bahasa,dan lambang negara serta Lagu Kebangsaan ini disahkan pada9 Juli 2009 yangmemiliki 9 Bab dan 74 pasal yang pada pokoknya mengaturtentangpraktikpenetapandantatacarapenggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, sertalagukebangsaan(UUD1945danUUNo24/2009).
Rasa nasionalisme perlu ditumbuhkan sejak dini, salah satunya harus menghargai lagu-lagu kebangsaan negara.Dalam rangka peningkatan sikap nasionalisme siswa, saat ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan semua sekolah menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara bendera setiap hari senin, juga dalam waktu sebelum memulai pelajaran dan diakhiri dengan menyanyikan lagu-lagu nasional. Menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza hanya melengkapi yang sudah ada sekarang dan ditegaskan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Kebijakan yang dilakukan Pemerintah mengenai menyanyikan Lagu Indonesia Raya Tiga Stanza ini, diharapakan dapat meningkatkan rasa dan sikap nasionalisme siswa. Agar mereka pula paham akan perjuangan bangsa memerdekakan negara Indonesia.Lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R Supratman merupakan lagu kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia yang berisikan ungkapan cita-cita nasional yang merupakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan dan Negara Indonesia. Dan juga menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia.
Lagu Indonesia Raya yang berkumandang di seluruh pelosok tanah air Indonesia selama Perang kemerdekaan di Indonesia, telah menjadi saksi atas pengorbanan para pahlawan yang semangat dan memiliki keberanian bertempur sampai Titik darah Penghabisan dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan menegakkan kemerdekaan, Oleh karena Itu bagi seluruh bangsa Indonesia, Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan bendera kebangsaan Sang Merah Putih adalah kehormatan bagi Negara Indonesia.Sejarah Lagu Indonesia RayaDalam buku Yanto Bashri (2004:317) Pada tahun 1930 Lagu Indonesia Raya sempat menghebohkan, Indonesia Raya dilarang dinyanyikan dimuka umum. Pada tanggal 28 Oktober 1928 malam, tepatnya di gedung Jl. Kramat Raya 106 Batavia, Supratman sangat ingin lagu Indonesia Raya, ciptaanya dinyanyikan di kongres. Oleh karena itu, ia pun memberikan salinannya kepada para pemimpin organisasi pemuda saat itu agar disebarkan dan dipelajari. Ternyata lagu itu mendapat sambutan hangat, terutama dari kalangan pandu-pandu KBI. Sebab, dalam salah satu kalimat syairnya Indonesia Raya menyebut-nyebut “jadi pandu”. Dengan cepat lagu ini dihafal para pandu. Pada malam penutupan Supratman berangkat lebih awal. Dengan perpakaian jas putih-putih, peci, sepatu putih mengkilap, dan mengampit biola, ia pun segera bergerombol dengan wartawan wartawan melayu. Supratman menyodorkan secarrik keryas berisi syair lagu Indonesia Raya itu.
Awalnya Soegondo ragu-ragu mengizinkan lagu itu dapat dinyanyikan, jangan-jangan malah jadi alasan pemerintah melarang penutupan kongres, padahal kongres hanya tinggal mengumumkan hasil keputusan. Oleh karena itu Soegondo meminta izin kepada pembesar kantor voor Inlander Zaken, Van der Plas, pejabat yang bertugas mengawasi jalannya kongres. Van der Plas menganjurkan Soegondo menghubungi Hoofd Commisaris yang duduk disebelahnya. Dan akhirnya Soegondo meminta lagu itu dinyannyikan instrumentalnya saja.Lagu Indonesia Raya dinyanyikan untuk pertama kalinya Menjelang akhir Desember 1928, Kesempatan itu terjadi ketika pembubaran panitia Kongres Pemudan Indonesia II. Sebelumnnya Supratman sudah melatih koor, dan koor inilah yang tampil menyanyikan dengan iringan gesekan biola Suprtaman. Ternyata hanya dalam waktu dua bulan lagu itu sudah populer. Pada saat berbincang-bincang dengan Sukarno, Supratman menyerahkan teks lagu Indonesia Raya. Dan lagu ini akhirnya dikumandangkan lagi di tempat yang sama saat pembukaan Kongres PNI II tanggal 18-20 Desember 1929. Saat itu peserta kongres sangat antusias menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengikuti koor dan iringan biloa Supratman sebagai tanda penghormatan pada Indonesia Raya, lagu yang nadanya mirip dengan La Marseilles itu.Indonesia Raya ditetapkansebagai lagu Kebangsaan Indonesia dalam acara kongres kedua PNI dan merupakan hasil penting yang tecatat dalam lembaran sejarah bangsa. Dan semenjak itu Indonesia Raya banyak dinyanyikan orang-orang pribumi, hingga akhirnya Supratman mencetaknya dalam lembaran stensilan. Lagu Indonesia Raya direkam oleh seorang pengusaha, namun dengan koor dan iringan biola tersendiri sehingga dengan cepat teks lagu tersebut cepat tersebar dikalangan masyarakat luas.
Awalnya pemerintah Hindia Belanda membiarkan lagu tersebut berkumandang, namun semakin lama mereka khawatir lagu itu bisa menyulut api kemerdekaan. Akhirnya pada tahun 1930 lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan dalam kesempatan apapun, dengan alasan mengganggu keamanan dan ketertiban. Supratman pun dalam pengawasan dan diinterogasi, ditanya maksud menciptakan Indonesia Raya, mengapa ada kata “merdeka, merdeka”, dan mengapa disebut lagu kebangsaan. Supratman menjawab bahwa kata-kata “merdeka,merdeka” bukan dari dia, melaikan dari anak-anak muda, aslinya “mulia,mulia”. Dan tentang sebutan lagu kebangsaan, dengan tepat Supratman menjawab bahwa itu merupakan keputusan kongres PNI II tanggal 20 Desember 1929 setelah mendengar jawaban itu akhirnya pemerintah Belanda membebaskan Supratman.Pada saat tentara sekutu berhasil merebut beberapa pulau dilautan pasifik, tentara jepang mulai bersikap manis. Mereka menjanjikan kemerdekaan terhadap bangsa Indonesia lalu mengizinkan berdirinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tugas pertama yang dilakukan panitia ini adalah membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada tahun 1944.
Dalam buku Yanto Bashri (2004:321) terdapat naskah lagu asli Indonesia Raya Tiga Stanza.
Naskah 1928 I
Indonesia, tanah airkuTanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri Menjaga pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Kebangsaan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku, jiwaku semuanya
Bangunlah rakyatnya
Bangun lah bangsanya
Untuk Indonesia Raya
II
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada
Untuk s‟lama-lamanya
Indonesia tanah pusaka
P‟saka kita semua
Marilah kita mendoa
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya sem‟wanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
Menjaga ibu sejati.
Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji:
Indonesia abadi
Selamatlah rakyatnya
Selamatlah putranya
Pulaunya, lautnya, semuanya
Majulah negerinya
Majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indones‟, Indones‟.
Mulia, Mulia
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indones‟, Indones‟
Mulia, Mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Naskah 1944
I
Indonesia, tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu Ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
.Hiduplah Tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku sem’wanya
Bangunlah Jiwanya
Bangunlah Badannya
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku hidup
Untuk s‟lama-lamanya
Indonesia tanah pusaka
P‟saka kita semua
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu.
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya sem‟wanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
n’jaga ibu sejati.
Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji:
Indonesia abadi
Refrain
Indonesia, Raya,
Merdeka, Merdeka
Tanahku, Negeriku yang kucinta
Indonesia Raya,
Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Dalam buku Yanto Bashri (2004:324) Pada pertengahan tahun 1945 larangan pemerintah jepang di Indonesia untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya akhirnya terhapus, karena pada saat itu jepang berada di ambang-ambang keruntuhan. karena sejak 17 Agustus 1945 sampai Agustus 1948 tidak ada keseragaman dalam menyanyikan Indonesia Raya, untuk mengantisipasi masalah tersebut,pada tanggal 16 November 1948 dibentuklah Panitia Indonesia Raya. Dan hasilnya, pada tanggal 26 Juni 1958 dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Peraturan yang terdiri atas 6 bab ini mengatur tata tertib dalam penggunaan lagu Indonesia Raya, dilengkapi dengan pasal-pasal penjelasannya.Makna Lagu Indonesia RayaSesuai dalam Ketetapan Pemerintah Nomor. 1 tanggal 17 Agustus 1959 yang menyatakan bahwa ”lagu kebangsaan Indonesia Raya wajib dihormati dan dihayati diajarkan secara sungguh-sungguh dalam pendidikan moral kebangsaan guna membangun jati diri bangsa”. Analisis makna yang terkandung dalam lagu kebangsaan IndonesiaRaya Dalam Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Mustika (2017,92-97)
Stanza 1
Dalam Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Mustika (2017,92-94)
Sajak not-not pertama dinyanyikan dengan kata “In-done-sia” (nada meninggi), lalu “tanah a-irku” (nada menurun), lalu “tanah tumpah darahku” (nada menurun berderap), lirik ini bermakna hubungan antar manusia dengan lingkungan alam Indonesia yang sangat erat. Begitu eratnya, sehingga lingkungan itu disebut sebagai tanah air, tanah tumpah darah, dan sebagai ibu.
Kebudayaan telah menempatkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga alam menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari sejarahnya, bagian dari proses kebudayaannya dan seluruhnya adalah pernyataan politik.Kata Indonesia yang mulai dipakai Ki Hadjar Dewantoro tahun 1913 adalah lawan kata dari Hindia Belanda. Kata Tanah Air adalah ruang kosmik kebangsaan tentang hakekat dialektika alam Tanah dan Air yang dirumuskan dalam puisi puisi Muhammad Yamin. Istilah Tanah Tumpah Darah adalah konsep tentang Ibu yang menumpahkan darah (wutah getih) saat melahir-kan anak-anak Indonesia. Seperti bahasa lain dari “Inilah aku Indonesia dengan segala ke alamanku, yang lahir dan dibesarkan oleh perjuangan ibu-ibu bangsa”. Variasi melodi dari titi nada di baris pertama disuarakan “Di-sana-lah aku berdi-ri” (nada meninggi), lalu “jadi pandu i-bu-ku” (nada merendah berderap). Istilah “Di sanalah”, kerap menjadi pertanyaan publik: “Mengapa bukan “di sinilah””? Tetapi penggunaan istilah “Di sana” lebih serupa kerangka objektif W.R. Soepratman meletakkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sanggup “berdiri”, tidak tunduk kepada bangsa asing. Ini seperti imbangan dari baris pertama yang sifatnya lebih subjektif, dan karenanya ada semacam pernyataan politik kedua di hadapan kolonialisme, “jadi pandu ibuku”. Pandu adalah gerakan pemuda yang tersisa, yang paling mungkin dimanfaatkan sebagai organ politik anti kolonialisme menyusul represi aparat kolonial yang melarang berbagai pertemuan dan aktivitas politik setelah pemberontakan 1926/27. “Jadipandu Ibuku” karenanya bermakna, “Aku akan memimpin, menjaga, dan merawat bangsaku”. Jika dihubungkan dengan baris pertama, maka baris kedua semacam pernyataan kepada kaum kolonial: “Di Indonesia aku berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain, oleh karena aku memimpin, menjaga, dan merawat bangsaku”. Baris ketiga berbunyi “Indonesia, kebangsaanku, bangsa dan tanah airku”.
Apa kemudian perbedaan antara kebangsaan dan bangsa? Kebangsaan adalah pengIndonesiaan dari kata nationalism, yang berarti cara pandang tentang kewilayahan dan politik dengan berbasis pada pemahaman dan kesadaran akan bangsa. Sementara bangsa adalah suatu komunitas manusia yang memiliki nama, yang mempunyai kesamaan wilayah bersejarah serta memiliki memori sejarah dan mitos publik yang sama, budaya publik bersama, perekonomian tunggal dan hak serta kewajiban bersama bagi semua anggotanya. Tetapi dalam konteks sejarah Indonesia, bangsa tidak mengandaikan satu golongan atau ras tertentu, sebagai konsekuensi dari kewilayahan yang menyatakan keragaman etnis dan golongan.
Tjipto Mangoenkoesoemo dalam hal ini menyatakan bahwa “kata bangsa Hindia ini termasuk juga peranakan Eropa dan juga peranakan Tionghoa. Mereka ini sesudah dilahirkan di bawah lambaian nyiur lebih banyak dibesarkan oleh babu Sarinah daripada oleh ibunya sendiri, belum lagi disebutkan hal-hal yang acapkali terjadi, yaitu mereka yang dikandung dan dilahirkan oleh babu Sarinah yang itu juga”. Karenanya,jika dikembalikan pada lirik lagu Indonesia Raya, maka baris ketiga adalah sebuah abstraksi dari dua baris lirik sebelumnya. Dengan kata lain, W.R. Soepratman ingin berkata, “Karena aku telah menyatakan luar-dalamnya diriku sebagai bangsa Indonesia, maka cara pandangku adalah demi kewilayahan dan keragaman yang ada di dalamnya, yang membentuk kebangsaanku, itulah bangsa dan tanah airku”. Baris keempat yang berbunyi: “Marilah kita berseru, Indonesia Bersatu”, lebih serupa seruan yang indah dari W.R. Soepratman agar semua komponen bangsa bersatu di hadapan kolonialisme dan saat menghadapi kolonialisme. Letak keindahannya adalah pada lompatan nada kwint (interval lima nada) yang biasanya di awal kalimat lagu, ini berada di tengah dengan puncak nada panjang pada kata “See ru”. Baris ini juga menyatakan kepada kolonialisme bahwa “kebangsaanku menyatu di hadapan penindasanmu”.Baris kelima yang berbunyi: “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya”, sebenarnya adalah pernyataan tentang harapan.
Apabila dihubungkan dengan baris sebelumnya, maka makna dari baris kelima bisa menjadi “kebersatuan bangsa akan menghidupi tanah, negeri, bangsa, dan rakyat”. Tetapi penting dipahami makna kata “tanah” dalam baris ini berbeda dengan tanah pada baris-baris awal stanza ini. Ia bukan tanah air, dan bukan juga tanah tumpah darah, melainkan tanah yang dapat dihidupkan, yang dapat melahirkan sesuatu, yang bisa menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Artinya lagi-lagi ini sebuah pernyataan politik kepada kolonialisme yang merampas tanah-tanah rakyat Indonesia melalui sistem tanam paksa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman mencoba menegaskan kepada kolonialisme bahwa “aku akan mengambil kembali tanah yang kau rampas, agar tanah itu dapat hidup dan menghidupi negeri, bangsa, dan rakyatku semuanya”.
Baris keenam yang berbunyi: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, lebih merupakan konsekuensi dari baris yang ke-lima. Artinya, ketika tanah sudah dapat menghidupi bangsa dan rakyat, maka tindakan selanjutnya adalah membangun rasa cinta tanah air, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup sebuah bangsa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman ingin berkata kepada kita semua bahwa segala upaya membangun bangsa diasalkan dari diri kita sendiri untuk dapat berguna bagi bangsa. Ini serupa dengan seruan Kartini, puluhan tahun sebelumnya, menurut Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Mustika (2017,94) “Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang lain!” Baris ketujuh dan kedelapan yang berbunyi: “Indonesia raya, merdeka, merdeka, tanahku negeriku yang ku cinta/ Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya”. Kalimat-kalimat ini bukan sekadar seruan tentang kebebasan dari kolonialisme, tetapi juga upayamembangun jati diri dengan keberanian melawan segala rintangan yang menghambat kebebasan.
Stanza 2
Dalam Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Mustika (2017,94-95)
Stanza yang kedua memberikan deskripsi mengenai tanah air yang kaya. Bait ini mengungkapkan kesadaran sejarah, maka tanah air dinamakan tanah pusaka. Bait ini pula mengungkapkan sikap religius bangsa Indonesia yang mengajak berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam bait itu memberikan pesan bekerja membangun dalam pengertian suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya,rakyatnya, semuanya. Ini meminta adanya kesediaan dan kesetiaan bagi semua yakni sadarlah hatinya, sadarlah budinya. Dalam stanza ini, syair baris pertama berbunyi : “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”. Sekilas pengertiannya bisa serupa, “Indonesia mulia karena Indonesia kaya”. Tetapi “mulia” di sini lebih dari sekadar soal kekayaan. Pengertian tentang tanah yang mulia perlu disandingkan baik dengan “tanah air, tanah tumpah darah” maupun sebagai kelanjutan dari “tanah yang hidup”. Karenanya ke-mulia-annya adalah abstraksi dari tanah air dan tanah tumpah darah, sedang ke-kaya-annya adalah simpulan dari kemampuan tanah itu menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Baris kedua yang berbunyi “ Di sanalah aku berdiri untuk slamalamanya”, sekali lagi menegaskan posisi politik tentang Indonesia yang tidak dapat diganggu gugat oleh kolonialisme. Makna kata “slama-lamanya” di sini lebih berdekatan dengan pengertian W.R. Soepratman yang seolah hendak berkata kepada kolonialisme, “Apa pun yang terjadi aku tetap menjaga kemuliaan Indonesia”.
Baris ketiga yang berbunyi “Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya” adalah sebuah penegasan ulang yang lebih fundamental. Setelah ia adalah Tanah Air, Tanah Tumpah Darah, Tanah yang Hidup, Tanah Mulia, maka Indonesia adalah pusaka. Pengertiannya di sini Indonesia adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang oleh karena berbagai sebab menjadi satu ikatan persaudaraan Indonesia. Karenanya,ke-pusaka-an Indonesia mengandaikan sifat-sifat hubungan-hubungan sosial yang erat di antara keragaman suku, bangsa, dan bahasa. Baris keempat, yang berbunyi “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”, lebih serupa lompatan dari pernyataan politik ke pernyataan ideologis. Jika diperhatikan „alur cerita‟ dari stanza pertama sampai sebelum baris ini, semuanya berbicara tentang hal-hal yang sifatnya duniawi. Tepatnya keduniawian dari perjuangan melawan kolonialisme. Nah, pada baris ini hal-hal terkait perjuangan di muka dikembalikan pada spiritualitas agama yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia. Tepatnya perjuangan itu diberikan landasan moral ideologis, dengan membuat doa sebagai dasar dari perjuangan. Sepertinya W.R. Soepratman ingin berucap, “Terangnya perjuangan itu tidak mungkin tanpa doa rakyat Indonesia”, yang mana semua ditujukan demi Indonesia bahagia. Baris kelima berbunyi, “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya, semuanya”. Lirik dalam baris ini semacam menegaskan ulang makna dan tujuan dari doa perjuangan rakyat Indonesia. Ia merupakan harapan agar perjuangan melawan kolonialisme dapat dimenangkan dan harapan itu mengandaikan kebenaran tentang tanah yang subur, dan jiwa-jiwa pemberani dari bangsa dan rakyat Indonesia. Karenanya dalam baris akhir dari stanza kedua yang berbunyi: “Sadarlah hatinya, sadarlah budinya, untukIndonesia Raya”, ini lebih serupa raungan pengingat kepada rakyat Indonesia untuk kembali menyadari hakekatnya.
Stanza 3
Dalam Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Mustika (2017,96-97)
Bait ini mengungkapkan tugas dan kewajiban bangsa sebagai putera puteri tanah air. Tugas berarti menjaga mempertahankan, memajukan, yang intinya membangun secara menyeluruh secara berkesinambungan sebagai tugas abadi. Baris pertama dari stanza ketiga berbunyi “Indonesia, tanah yang suci, Tanah kita yang sakti”. Pengertiannya hampir sama dengan Indonesia tanah yang mulia dalam stanza kedua. Hanya saja tambahan unsur„sakti‟ di sini lebih serupa simpulan dari kemuliaan dan kepusakan Indonesia. Kesaktian di sini juga tidak sama arti dengan tingkat keahlian seseorang, melainkan sebuah cita-cita akan Indonesia yang kokoh dan berjaya. Baris kedua yang berbunyi, “Di sanalah aku berdiri, N‟jaga ibu sejati”, adalah sebuah penegasan dari baris sebelumnya, bahwa oleh karena kesaktiannya maka adalah “tugasku sebagai rakyat Indonesia untuk menjaganya”. Karenanya, dalam baris ketiga yang berbunyi “Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku sayangi,” ini semacam konsekuensi dan juga syarat untuk menjaga ibu sejati. Apa itu ibu sejati? Itulah simbol abstrak dari tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang hidup, tanah pusaka, tanah suci dan mulia. Kesejatian ibu di sini juga bisa dirujuk pada apa yang dikatakan Kartini tentang ibu/perempuan sebagai soko guru peradaban bangsa. “Marilah kita berjanji, Indonesia abadi”, demikian bunyi baris keempat yang menunjukkan perlunya itikad yang besar dari setiap rakyat Indonesia untuk mempertahankan Indonesia dan ke-Indonesiaan. Hal itikad atau sumpah ini adalah semacam simbolisasi dari gerakan Sumpah Pemuda, yang perhelatannya di tahun 1928 menjadi tempat Indonesia Raya dibunyi- kan untuk pertama kali. Baris kelima yang berbunyi, “S‟lamatlah rakyatnya, S‟lamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya,” sebenarnya sebuah rencana realisasi dari janji menjaga Indonesia. Siapa yang harus berjanji? Rakyat Indonesia lah yang harus berjanji menyelamatkan manusia dan alam Indonesia. Karenanya sebagaimana bunyi baris penutup “Majulah Neg‟rinya, Majulah Pandunya, Untuk Indonesia Raya”, ini serupa penegasan dan penajaman bahwa negeri ini harus dipimpin, dibimbing, dirawat agar Indonesia abadi. Tepatnya semacam kewajiban bagi rakyat Indonesia untuk merealisasikan janji atau itikad di muka.
Reff
Wisnu Mintargo dan R.M. Soedarsono (2012:2)
Bait ke empat yang selalu diulang-ulang sebagai reffrein menurut Muhamad Yamin adalah sebuah pesan klimaks sebagai pernyataan sumpah bakti pemuda yang bergelora dalam kongres pemuda tanggal 28 Oktober tahun 1928, yang berjanji teguh pada dasar kesatuan tanah air, bangsa dan kebudayaan menuju kemerdekaan Indonesia. Berarti pernyataan tekad, kesediaan dan kesetiaan terhadap perjuangan membangun Indonesia yang merdeka dan bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dari seluruh gambaran pemaknaan tentang syair lagu Indonesia Raya tampak jelas bahwa lagu Indonesia Raya memiliki semangat anti kolonialisme yang tinggi. Ini tentunya bukan sesuatu yang luar biasamengingat W.R. Soepratman lahir dan dibesarkan di dalam alam kolonialisme. Akan tetapi hal yang paling mengemuka dari lagu Indonesia Raya adalah bahwa banyak dari kata-kata dalam lirik tersebut adalah pernyataan politik yang tegas, walau dibahasakan secara simbolik.
Hal kedua yang juga mengemuka adalah bahwa lirik lagu Indonesia Raya juga membawa nuansa arahan politik kepada rakyat Indonesia tentang apa yang harus dilakukan secara praktis di dalam menghadapi kolonialisme. Bahkan, lirik lagu tersebut meminta rakyat Indonesia menyadari keberadaannya sebagai bagian dari wilayah yang bersejarah dan pengalaman sejarah yang sama, pengalaman kolonialisme. Karenanya menjadi penting kemudian untuk mengeja dan menala Indonesia Raya dalam cahaya kebangkitan dari kehancuran akibat kolonialisme.
Sumber
Leni Puspita, Jurusan Program Studi PPkn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dengan judul Hubungan Pemahaman Materi tentang Pancasila dengan Perubahan Sikap Nasionalisme Siswa di SMP Negeri 1 Belalau
Liana, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan judul PENGARUH PENGHAYATAN DALAM MENYANYIKAN LAGU INDONESIA RAYA TIGA STANZA TERHADAP SIKAP NASIONALISME KELAS VIII DI SMP MUHAMMADIYAH 3 BANDAR LAMPUNG.