Skip to content

TEATER MODERN INDONESIA

Apa itu teater Indonesia? Teater Indonesia “dipisahkan dari teater barat modern, tetapi semakin terpengaruh dalam perkembangannya, dan menggunakan teater daerah/tradisional sebagai sumbernya” (Saini KM.1998: 59).
Modernisasi teater Indonesia sebenarnya mencerminkan tiga arah perkembangan. Jalur pertama adalah jalur barat yang mengubah masyarakat Indonesia dari wajah petani menjadi wajah pembelajaran.
Garis kedua adalah garis nasionalis jaman pra kemerdekaan yang sudah berjalan lebih dari setengah abad. Rute ketiga diakhiri dengan konflik besar (dikenal dengan gerakan G30S PKI) di penghujung tatanan politik negara. Meski jarak antara ketiga jalur tersebut cukup jauh, namun ketiganya berperang untuk mengisi makna baru istilah “Indonesia”. Bahkan dewasa ini perkembangan teater Indonesia telah diiringi dengan peristiwa nasional yang disebut era reformasi. Istilah “Indonesia” tidak lagi berarti kota atau daerah, tetapi bentuk dan corak baru yang maknanya unik bagi apa yang disebut kepekaan Indonesia. Ketika seorang seniman berkomunikasi dengan “orang Indonesia”, ia diharapkan dapat menyelesaikan masalah bahwa orang Indonesia pada dasarnya adalah dual-budaya, yaitu berbicara dalam kerangka budaya Indonesia dan daerah.
Teater modern adalah teater yang tumbuh di kota-kota besar. Teater ini biasanya merupakan persimpangan budaya lokal dan budaya barat. Contoh drama modern adalah sastra tertulis (drama) yang berbentuk drama. Kultivasi mengikuti konsep drama Barat. Penontonnya umumnya berpendidikan (Wijaya, 2007: 25)
Perkembangan drama modern di beberapa negara (abad 19-20) akan terus melanjutkan tradisi pembuatan panggung dan drama yang dimulai di Yunani kuno. Gaya pertunjukan dicirikan oleh realisme sosial dan psikologis, ekspresionisme, simbolisme dan absurditas, dan karakteristiknya meliputi Ibsen (Norwegia), Strinberg (Swedia), Bernard Shaw (Inggris) dan dari Irlandia, Prancis, Jerman, Rusia.

a). Ciri-ciri aliran dan naskah zaman modern

– Aliran realisme
Aliran ini menjelaskan semua peristiwa karena tidak dilebih-lebihkan dan tidak memiliki simbol. Meski unsur keindahan masih menarik perhatian masyarakat, tujuannya untuk meniru kehidupan nyata, namun drama realis diharapkan mampu mengungkap permasalahan sosial atau kehidupan yang terjadi sekaligus.

Ada dua aliran realisme:

  1. Realisme sosial adalah realisme yang menggambarkan masalah sosial yang berdampak besar terhadap kehidupan psikologis pelakunya. Fokus masalah dalam drama konflik adalah masalah sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, kepalsuan, penindasan, kehancuran keluarga, politik, dll. Pertunjukan secara alami adalah bahasa yang sederhana, bahasa sehari-hari.
  2. Realisme psikologis, yaitu realisme yang menekankan pada unsur psikologis itu sendiri. Kesedihan, kebahagiaan, kegembiraan, kekecewaan, semua ini adalah deskripsi alami. Dialog dan pertunjukan itu alami, seperti potret kehidupan sehari-hari.

– Aliran ekspresionisme

Ekspresionisme adalah seni ekspresi. Yang dipentaskan adalah kekacauan atau kekosongan psikologis. Aliran ini didasarkan pada perubahan sosial, seperti Revolusi Industri atau Revolusi Rusia di Jerman dan Inggris. Aliran ekspresionis dicirikan oleh perubahan adegan yang cepat, penggunaan pertunjukan yang ekstrem, dan pengambilan gambar adegan.


b). Kilasan Sejarah Teater Indonesia
Sejarah perkembangan teater modern Indonesia dalam proses perkembangannya banyak dipengaruhi oleh berbagai gaya dan pengaruh, sehingga memberikan bentuk dan identitas yang unik pada teater Indonesia. Berikut manuskrip dan lintasan sejarahnya dari masa ke masa;

  1. Sebelum abad ke-20
    Pertunjukan tidak menggunakan naskah, dan menampilkan cerita turun-temurun dari cerita rakyat dan tradisi lisan. Drama, drama rakyat, pengadilan, agama, panggung luar ruangan.
  2. Awal abad ke-20
    Pertunjukan dipengaruhi oleh teater Barat dan pertunjukannya (panggung), dan bentuk-bentuk teater baru muncul: tongkat komedi, istana, bangsawan, tonil, opera, wayang orang, ketoprak, ludruk, dll. Tidak menggunakan naskah tetapi menggunakan pentas, panggung berbingkai (Proscenium)
  3. Zaman Pujangga baru
    Muncul naskah drama asli yang dipakai pementasan amatir. Rombongan professional tidak menggunakannya.
  4. Zaman jepang
    Sensor sendenbu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan professional terpaksa belajar membaca, untuk menaskahkan pementasannya.
  5. Zaman kini
    Pada periode ini ditandai dengan gejala rombongan teater professional membuang atau tanpa menggunakan kembali naskah. Sementara itu organisasi teater amatir setia pada naskah bahkan naskah menjadi sesuatu yang wajib sebagai konsep pertujukan teater modern.

c). Fungsi teater menurut Putu Wijaya

  1. Fungsi Hiburan.
    Fungsi hiburan memposisikan teater sebagai kesenangan bagi penonton dan aktor teater itu sendiri. Fungsi hiburan dilakukan dalam berbagai pertunjukan teater, seperti ritual, gema, permainan barbar atau binatang
    buas, dan dalam pertunjukan yang menuntut bayaran dari penonton, seperti di Tobong atau ruang pertunjukan.
  2. Fungsi seremonial.
    Ritual dalam konteks kehidupan tradisional dan agama merupakan proses teologis. Di dalamnya kita temukan unsur panggung dan samping berupa ruang dan waktu, aksi / aksi, suara dan lagu. Rasa dan jiwa, serta panggung / tempat upacara. Unsur-unsur ini mulia dan sakral. Inti dari kesucian adalah agar setiap prosesi ritual memancarkan energi dan semangat yang kuat sehingga pengikutnya dapat menikmati dan hidup secara spiritual.
  3. Fungsi ekspresi (kreatif).
    Drama adalah narasi dan ekspresi. Sebagai semacam penuturan, teater berisi cerita, informasi, catatan peristiwa dan catatan berbagai hal, sehingga tidak kalah dengan saksi zaman (membaca dokumen). Tetapi sebagai ekspresi dramatis, ini merekam pendapat, pikiran, dan keinginan orang pada waktu tertentu.
  4. Fungsi ekonomi.
    Perbedaan terpenting dalam proses produksi antara teater barat dan timur adalah bahwa di timur, biasanya di negara berkembang, teater berorientasi pada proses. Pada saat yang sama, di Barat, proses produksi teater mengutamakan produk. Berorientasi pada proses berarti bahwa proses itu sangat penting. Apa yang akan diproduksi tergantung pada keseluruhan acara manufaktur. Hasilnya tidak akan terlihat sampai selesai. Faktanya, biasanya tidak diketahui atau berbeda dari yang dibayangkan semula.

Hal ini terjadi karena teater masih erat kaitannya dengan parade dan ekspresi. Teater belum menjadi komoditas yang dihargakan dalam mata uang. Pada saat yang sama, berorientasi pada produk sangat memperhatikan hasil akhir. Teater tidak akan diproses sampai hasil yang diinginkan jelas. Karena menyangkut biaya dan tujuan kemurnian yang ingin dicapai. Itu hanya akan diproses jika sudah jelas apa yang ingin diproduksi teater. Kehidupan teater seperti itu sangat erat kaitannya dengan ekonomi. Produksi setiap teater akan selalu mengacu pada kebutuhan biaya. (Wijaya, 2007: 172-181)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://borrowmarmotforester.com/ikk6dgxp6?key=2f06e78c20e057d49e30985f343b0f39 https://borrowmarmotforester.com/vku0xehca5?key=60798e1926f76e1ac3b0e649820b6850 https://pjjpp.com/fullpage.php?section=General&pub=758948&ga=g