Skip to content

Teater Nonrealis

nodul 2 Seni Teater kelas XI

Pertunjukan teater yang sudah ada sejak lama membuat aliran teater juga beragam. Mulai dari teater klasik di Yunani hingga teater modern yang ada sekarang ini. Teater juga memiliki dua aliran populer sampai saat ini, yaitu aliran realisme dan nonrealisme. Teater yang bergenre nonrealisme lebih diminati oleh masyarakat pada umumnya, karena pada aliran ini para penonton yang hadir dalam sebuah pementasan dapat berkomunikasi langsung dengan cerita, berbeda dengan realisme yang hanya “menyuruh” penonton untuk diam dan melihat pertunjukan dari awal sampai akhir. Tahukah kalian apa itu teater nonrealis? Apa perbedaannya dengan teater realis? Apa hubungan teater dengan isu sosial? Bagaimana karakterisasi dan cara menyusun naskah dalam seni teater? Untuk mengetahuinya, simaklah pembahasan materi berikut ini!

Tujuan Pembelajaran

Menjelaskan perbedaan konsep drama realis dan nonrealis.

Mendeskripsikan hubungan teater dengan isu sosial.

Menjelaskan pembentukan karakterisasi dalam drama teater.

Menjelaskan cara penyusunan naskah drama.

A. Konsep Drama Realis dan Nonrealis

Teater adalah suatu kegiatan yang menggunakan tubuh untuk menyampaikan suatu pesan dan emosi yang dapat menjadi sebuah pertunjukan karya seni. Kekuatan teater berasal dari tiga unsur, yaitu pekerja, tempat, dan penikmat. Tanpa ketiga unsur tersebut, teater tidak dapat berjalan. Pada awalnya, teater diciptakan sebagai bentuk upacara para dewa yang mengandung kekuatan gaib yang dianggap supranatural. Kata-kata yang diungkapkan pada saat itu terjadi secara spontan (mantra) atas karangan dukun tanpa adanya naskah. Seiring berjalannya waktu, teater mulai dipergelarkan di Yunani dengan menggunakan naskah. Cerita yang diangkat juga berubah menjadi lakon tentang manusia.

Dalam dunia drama dan teater, kalian dapat melihat berbagai aliran yang menjadi tema dalam pertunjukannya. Salah satunya adalah “Drama dan Teater Realisme”. Aliran realisme mulai berkembang sekitar tahun 1850-an, terutama di bidang teater di negara Prancis. Pada aliran ini, penulis berusaha agar drama yang ditampilkan dapat menggambarkan kehidupan sehari-hari. Terciptanya aliran ini adalah hasil dari ketidakpuasan kaum realis terhadap idealisme kaum romantik yang dinilai tidak dapat terwujud. Singkatnya, aliran realis ingin membuat penonton takjub melihat “kehidupan nyata” yang ditampilkan di atas panggung.

Tokoh-tokoh teater dunia yang beraliran realis- me antara lain Dumus JR, Augier, Ibsen (Prancis); Pinero Joans, Galsworthy, dan Shaw (Inggris); Nikolai Gogol, Ostrovsky (Rusia). Teater realis mu- lai dikenal setelah zaman perang berakhir. Grup teater di Indonesia yang mengenalkan teater realis untuk pertama kalinya adalah grup Teater Maya yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Teater realisme mengalami perkembangan setelah lahirnya ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) dan beberapa perguruan tinggi kesenian lainnya. Naskah-naskah drama Indonesia yang beraliran realis antara lain: Titik-titik Hitam karya Nasjah Djamin, Malam

Jahanam karya Motinggo Busye, Domba-domba Revolusi karya Bambang Soelarto, dan Mutiara dari Nusa Laut karya Usmar Ismail. Idealisme aliran realisme ingin menghidupkan illusion of reality dalam panggung, yaitu membuat penonton seakan lupa kalau mereka sedang menonton teater. Oleh sebab itu, para pemain teater harus bekerja keras dan berusaha mewujudkan itu. Mulai dari tata panggung,

penampilan, kostum, dan yang terpenting emosi dan bahasa yang harus sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan semua itu harus diperhatikan secara mendetail, sehingga penonton benar-benar merasakan kesamaan penampilan realis dengan kehidupan sehari-hari.

Untuk memerankan tokoh drama realis, sebaiknya kalian harus meneliti dan melakukan pengamatan langsung pada tokoh aslinya. Melihat bagaimana ia bersikap, maupun berbicara dalam kehidupannya sehari-hari. Latihan emosi juga penting kalian kuasai, penonton akan kagum saat melihat kehidupan realita dibawakan di atas panggung. dilakukan berkali-kali, agar teater realis terlaksana dengan baik. Jika pembawaan karakter tokoh sudah Teater realisme menampilkan suatu cerita yang memang bercermin langsung dan pembawaannya pun harus mirip dengan peristiwa yang sebenarnya, seperti cara

cata, minum dan lain-lain. Adapun teater nonrealisme menampilkan suatu cerita yang “merusal realisme, artinya adegan-adegan yang dalam pementasan bergenre ini bertentangan dengan hukum realisme, contohnya jika dalam realisme berjalan harus mirip dengan kenyataan yang ada maka dalam nonrealisme bisa dibuat berbeda seperti dilebih-lebihkan. Bagi penonton yang menjadikan pementasan hanya sebatas hiburan, mereka lebih cenderung menyukai teater nonrealisme. Selain karena pembawaan ceritanya yang “ringan”, mereka juga bisa berhubungan langsung dengan cerita, seperti berteriak- teriak kepada aktor atau menjawab pertanyaan aktor. Hal seperti itu tentu tidak ditemui dalam drama realisme, karena pada realisme para aktor tidak bisa berkomunikasi langsung dengan audiens.

Profil Pelajar Pancasila

Akhlak Bernegara

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau dengan berbagai kebudayaan yang menghasilkan karya-karya seni, di antaranya seni teater. Hingga di masa pembaruan, para seniman daerah terus mengembangkan seni teater nontradisional atau modern yang telah bersentuhan dengan konsep teater Barat. Kalian harus terus mempelajari serta mempraktikkan seni teater agar tidak tergerus kemajuan zaman.

B. Teater dan Isu Sosial

1.Tahukah kalian ada keterkaitan teater dan isu sosial? Teater dan isu sosial memiliki hubungan saling berkaitan. Teater memberi respons pada isu realitas sosial, sedangkan permasalahan dalam realitas sosial bisa diselesaikan dengan ide yang disalurkan melalui teater. Bahkan ada istilah yang menyatakan “Tidak ada realitas, maka tak ada teater. Kemudian teater hadir sebagai cara merespons realitas tersebut.”

Teater juga dapat dijadikan media untuk meditasi, hiburan, dan kontrol sosial. Merespons realitas dimulai dengan sentuhan pelakunya yang peka terhadap isu sosial, kemudian terjadi pergumulan berkelanjutan di dalam dirinya. Lalu diolah dalam imajinasi dan raga serta menghasilkan sebuah karya teater.

Dimulainya Keterkaitan Teater dan Isu Sosial

Seni dan isu sosial adalah salah satu topik paling lawas yang pernah dibicarakan dalam sejarah teori-teori estetika. Tema itu sudah diperdebatkan pada zaman Yunani Klasik sekitar 500-300 SM. Orang-orang pada masa itu lazimnya beranggapan bahwa karya seni yang baik adalah karya seni yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik. Jadi, kesenian dipersepsi secara didaktis sebagai sarana untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik. Dalam kerangka didaktis semacam ini, keindahan tidak dapat dievaluasi terpisah dari kegunaan sosial. Suatu karya yang indah mesti juga berguna secara sosial. Di situ, perkara kesenian dan perkara perubahan sosial bukanlah dua hal yang terpisah. Dalam tradisi didaktis semacam inilah sejarah seni di Eropa berkembang sampai dengan masa Renaisans pada abad ke-16.

Konsensus antara teater dan isu sosial dibongkar sejak masa Romantik (abad ke-18 dan 19). Pada masa itu, timbul sejumlah pendapat yang mau melepaskan aspek keindahan karya seni dari seluruh aspek kegunaannya. Karya seni yang baik adalah karya seni yang indah kalau dipersepsi secara “tanpa pamrih” (disinterested). Pemikir estetika seperti Earl of Shaftesbury, Immanuel Kant, Théophile Gautier dan Oscar Wilde dipersatukan oleh kesamaan pendapatnya akan hal ini. Sejak saat itu muncullah dilema khas estetika modern, sebagai berikut.

a.Perbedaan antara keindahan dan kegunaan.

b. Perbedaan antara bentuk dan isi.

C.Perbedaan antara otonomi dan keberpihakan.

Beragam pemikiran estetika yang bermuara pada tradisi modernis akan menekankan keindahan, bentuk dan otonomi seni di atas segalanya. Hal ini yang tercermin dalam estetika formalis dan gerakan estetisisme (yang bersemboyan seni untuk seni). Sementara pemikiran estetika yang berada di luar tradisi modernis, yakni para penganut estetika realis, sisa-sisa penganut tradisi Klasik, akan lebih mementingkan kegunaan, isi, dan keberpihakan seni. Demikianlah, sejak abad ke-18 tercipta suatu jurang antara seni dan perubahan sosial.

Tradisi “modernisme dialektis” yang berkembang hingga era 1960-an memang berhasil me- nyelesaikan dilema klasik dalam perkara evaluasi karya seni. Kendati begitu, tradisi ini belum berhasil menyuguhkan suatu pendekatan praktik artistik yang memungkinkan penciptaan karya seni yang dapat dipertanggungjawabkan secara estetik sekaligus mampu memberikan sumbangan bagi perubahansosial.

Akibat kemajuan teknologi, bergeserlah makna karya seni. Dalam esai klasiknya di tahun 1936, Walter Benjamin telah mencermati gejala lenyapnya “aura” karya seni akibat kemungkinan untuk diolah secara mekanis sampai tak hingga. Lenyapnya aura berarti lenyapnya singularitas atau keunikan benda seni. Kemajuan teknologi kamera dan percetakan telah menjalankan desakralisasi atas benda seni.

Sebelum adanya teknologi, setiap benda seni seakan mengandung kesan misterius dan suci seperti pusaka yang dikeramatkan dalam kepercayaan religius dikarenakan fakta bahwa benda itu cuma ada satu sehingga terasa unik. Kemajuan teknologi membuyarkan suasana keramat itu. Berlawanan dengan tafsiran yang lazimnya dijumpai di Indonesia, Benjamin tidak mengartikan hilangnya aura ini sebagai sesuatu yang buruk atau perlu disesali. Justru sebaliknya, ia merayakan itu karena dengan begitulah karya seni bisa diakses oleh masyarakat luas sehingga terjadi pensosialan atas pengalaman estetis. Demistifikasi benda seni ini justru memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah hasil ritual artistik seorang seniman sublim yang sepenuhnya lain dari kerja masyarakat awam. Dengan kemungkinannya untuk dihasilkan secara mekanis, terbuktilah bahwa kerja seorang seniman bisa disetarakan dengan kerja orang biasa. Keduanya sama-sama bertumpu pada keahlian (skill) yang bisa dipelajari dan sama sekali tak ada mistiknya.

Dari kesadaran yang berkembang bahwa karya seni tak lagi bisa diartikan sebagai benda tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial di balik benda, kemudian muncullah dorongan untuk membaca hubungan antara seni dan perubahan sosial secara baru. Konsepsi lama yang mereduksi pengertian karya seni pada aspek bendawinya telah menghasilkan dilema antara bentuk dan isi, antara aspek intrinsik dan ekstrinsik.

Dengan terjadinya pergeseran ke konsepsi baru yang mengartikan karya seni tak lebih dari hubungan sosial yang meliputi sebuah benda, tak ada lagi dikotomi yang bisa dibangun antara aspek intrinsik dan ekstrinsik. Karya seni merupakan soal konsensus sosial tentang suatu benda maka aspek intrinsik benda tersebut (seluruh aspek formal-komposisionalnya) tidak lain daripada perwujudan aspek ekstrinsiknya (seluruh sistem pembagian kerja yang mendorong terbentuknya segala aspek formal-komposisional tersebut). Begitu disadari bahwa karya seni tak lebih daripada produk konsensus sosial, maka yang intrinsik menjadi efek dari yang ekstrinsik. Situasi ini mendorong terwujudnya hubungan yang antara seni dan perubahan sosial.

Dengan bertumpu pada kesadaran baru itu, kini karya seni tidak lagi dipertentangkan dengan perubahan sosial. Tak ada lagi pertentangan antara seni sebagai instrumen atau sarana perubahan sosial dan seni sebagai wilayah aktivitas yang otonom. Suatu benda hanya bisa menjadi karya seni sejauh ada hubungan sosial yang menempatkannya pada posisi tersebut, dan hubungan sosial tak pernah steril dari ideologi dan kepentingan ekonomi/politik, maka otonomi seni adalah isapan jempol. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, seni adalah bagian dari proses perubahan sosial.

Di negara-negara Barat, inilah kecenderungan yang mengemuka pascaseni konseptual di era 1960-an. Sementara di Indonesia, kecenderungan ini mulai nampak sesudah Gerakan Seni Rupa Baru era 1970-an. Banyak karya seni konseptual, semisal karya-karya Barbara Kruger yang mendorong pemirsanya untuk memikirkan segala apa yang diketengahkan dalam karya. Penonton didorong untuk menginterogasi kembali keyakinannya selama ini sehingga berdampak pada terbentuknya hubungan sosial yang baru. Street artist seperti Banksy bekerja dengan cara yang serupa dengan menghadirkan persepsi baru tentang kenyataan di tengah-tengah ruang publik sehingga persepsi ini akan mendorong timbulnya hubungan sosial baru. Demikian pula dengan “seni rupa komunitas” yang dipraktikkan oleh Moelyono di Tulungagung dan Arief Yudi di kecamatan Jatiwangi, yakni mengubah kenyataan sosial di sekitar melalui praktik seni partisipatoris yang melibatkan warga.

2. Peran Seniman dalam Mengangkat Isu Sosial

Apabila setiap orang adalah seniman, lalu apa fungsi yang seorang seniman profesional? Ia berperan sebagai organizer. Jika setiap orang adalah pencipta karya seni, dan setiap karya seni tidak lain adalah hubungan sosial maka tugas seniman profesional hanyalah menjadi penghubung yang mengoordinasikan massa, sebagai para pencipta karya seni sehingga menciptakan sehimpun hubungan sosial yang baru dengan kenyataan sosial yang baru.

Intervensi seniman dalam mentransformasi ruang sosial dan segenap hubungan sosial di dalamnya tidak diwujudkan berdasarkan suatu aspirasi avant-garde yang berpotensi menjadi agen perubahan dan lalu menggurui massa agar mengubah relasi sosialnya. Semua orang merupakan agen perubahan sosial sehingga kapasitas transformasi sosial bukanlah privilese seorang seniman tercerahkan yang “turun ke bawah”, melainkan kapasitas kolektif massa itu sendiri. Sang seniman terlibat dalam proses musyawarah bersama, memberikan saran dan ikut bekerja bersama mewujudkan agenda-agenda kolektif masyarakat setempat. Produknya bisa apa saja, mulai dari yang masih berkaitan dengan “benda seni” (misalnya pameran seni di tingkat kampung) sampai dengan bentuk kegiatan yang tak ada sangkut pautnya dengan “benda seni”.

C. Karakterisasi

1.Pemain atau pemeran merupakan salah elemen penting di dalam sebuah pertunjukan teater. Sebelum seorang pemain memerankan tokoh tertentu maka pemain tersebut harus terlebih dahulu menguasai tubuhnya. Di dalam tubuh terdapat unsur yang terdiri dari gerak/laku, suara, dan sukma. Untuk memerankan seorang tokoh maka perlu dilatih mengenai teknik berperan. Penguasaan teknik berperan adalah kemampuan seorang pemain untuk mendayagunakan peralatan ekspresi baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat kejiwaan serta memiliki keterampilan dalam menggunakan setiap unsur penunjang pemeranan.

Jenis-Jenis Karakter

Jenis karakter dalam teater wajib ditentukan sebelum naskah ditulis. Penokohan atau perwatakan merupakan pelukisan tentang tokoh cerita, baik dalam keadaan lahir maupun batin dan dapat berubah. Tidak hanya itu, sang penulis naskah harus memperhatikan pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat istiadat, dan sebagainya.

Menurut Jones (1995), karakterisasi adalah pelukisan gambaran jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1988), watak merupakan kualitas moral dan jiwa tokoh yang membedakan dengan tokoh lain. Karakterisasi memiliki hubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokoh serta memberikan nama, sedangkan perwatakan memiliki hubungannya bagaimana watak dalam tokoh-tokoh tersebut.

Di dalam teater, perwatakan memiliki fungsi untuk menyiapkan atau menyediakan alasan sebagai tindakan tertentu dengan cara menggambarkan watak maupun sifat-sifat tokoh dalam cerita. Kernodle mengungkapkan bahwa karakter biasanya diciptakan dengan sifat dan kualitas yang khusus. Karakter tidak hanya berupa pengenalan tokoh melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo atau irama permainan tokoh, tetapi juga sikap batin tokoh yang dimilikinya. Setiap karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan erat dengan karakter yang lain. Karakter adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Menurut Santosa, dkk (2008:91), karakter adalah jenis peran yang akan dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan peran yang ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis peran tersebut sehingga bisa dimainkan. Jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character, round character, teatrikal, dan karikatural.

a. Flat Character (Perwatakan Dasar)

Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Jadi perkembangan karakter seha- rusnya mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalam- an dan interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang. Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia be- bas menentukan suatu perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi maupun derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon.

b. Round Character (Perwatakan Bulat)

Round character adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembang- an baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang men- jadikan karakter ini menarik dan mampu untuk menggerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya Teatrikal terdapat karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.

Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-ka- rakter teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada la- kon-lakon klasik dan nonrealis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan zaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia.

d. Karikatural

Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir. Karakter ini sengaja diciptakan oleh penulis lakon sebagai penye- imbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh ka- rakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku.

Biasanya penulis naskah melalui penceritaan menghasilkan sifat-sifat tokoh, pikiran, dan hasrat perasaan. Terkadang juga bisa menyisipkan komentar pernya- taan setuju dan tidaknya sifat-sifat tokoh tersebut. Secara garis besar, kalian da- pat mengenal watak para tokoh dalam sebuah cerita melalui apa yang diperbuat dan diucapkan. Tidak hanya itu, tetapi juga bisa melalui penggambaran fisik tokoh dan melalui pemikirannya.

2. Cara Menentukan Karakter Tokoh

Setiap tokoh dalam teater biasanya memiliki watak yang berbeda. Sutradara bisa menentukan watak dengan metode langsung maupun tidak langsung.

a. Metode Langsung

Metode langsung dilakukan ketika pengarang mengomentari watak dari sifat-sifat dasar secara langsung. Misalnya tokoh tersebut memiliki kebiasaan, seperti suka marah, kasar, bijaksana, sabar, dan sebagainya.

b. Metode Tidak Langsung

Metode tidak langsung bisa membuat pengarang mengungkapkan watak tokoh cerita melalui penyajian pikiran, percakapan dialog, dan bisa dilakukan dalam tindakan-tindakan tingkah laku si tokoh. Melalui metode ini, pengarang mengharapkan penonton bisa menyimpulkan sendiri tentang watak tokoh melalui dialog dan tingkah laku di atas panggung. 10

Dalam seni teater, teknik penokohan dilakukan untuk memahami karakter dari tokoh yang akan dimainkan. Karakter tokoh adalah karakteristik yang dimiliki oleh suatu tokoh. Karakter tokoh berkaitan dengan watak, pribadi yang memiliki ciri-ciri yang khas. Karakter tokoh juga berkaitan dengan perangai dan tabiat yang tertentu yang dimiliki oleh suatu tokoh. Menurut Sem Cornelyoes Bangun, dkk menjelaskan teknik penokohan dalam seni teater dapat dilakukan dengan memahami tiga dimensi yang dimiliki oleh suatu tokoh.

3. Penunjang Unsur Karakterisasi

Penunjang unsur karakterisasi terdiri atas hal-hal berikut.

a.Gerak atau Laku

Gerak merupakan alat ekspresi untuk dapat menghidupkan lakon dan menggambarkan karakter tokoh yang terdapat dalam naskah lakon tersebut. Gerak atau laku ini berupa gerak luar dan gerak dalam.

1)Gerak atau laku luar adalah gerak yang terlihat secara fisik dan tecermin dari gerak yang di- lakukan oleh tokoh tersebut.

2) Gerak atau laku dalam adalah gerak yang tidak terlihat secara fisik, tetapi dapat dirasakan. Gerak dalam merupakan pendorong untuk gerak luar.

b. Suara

Suara merupakan alat ekspresi untuk menyampaikan bentuk secara verbal dan sesuatu secara lisan. Cerita yang disampaikan melalui suara yang berupa percakapan atau dialog dengan maksud untuk menggambarkan sesuatu.

D. Penyusunan Naskah Drama

laku dialog yang dipentaskan. Naskah adalah sebuah cerita atau kisah yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah

1. Hal yang Diperhatikan Sebelum Menyusun Naskah

Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum sebuah cerita ditulis/disusun menjadi naskah drama.

a. Menganalisis naskah lakon/cerita, yang meliputi dan suasana dalam cerita;

1) eksposisi: menampilkan keterangan dengan sejelas-jelasnya mengenai tokoh-tokoh, keadaan,

2) komplikasi: menampilkan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai persoalan, perten- tangan, ataupun kesulitan-kesulitan bagi para tokoh utamanya;

3) klimaks: menampilkan persoalan (konflik) yang sudah mencapai puncak;

4) resolusi: menampilkan pemecahan persoalan dan memperlihatkan secara jelas pemecahan persoalan tersebut; serta

5) konklusi: simpulan dari akhir cerita.

b. Membuat gambaran dalam naskah lakon/cerita

Lakon (cerita) yang dipilih harus dapat digambarkan atau diperagakan secara visual. Misalnya, se- bagai kejadian pertama, seseorang tiba di stasiun kereta api, kemudian naik mobil menuju rumah sakit. Adegan tersebut sulit diperagakan di atas pentas. Oleh karena itu, biasanya dilakukan peru- bahan. Misalnya, kejadian tidak di stasiun kereta api, tetapi langsung di rumah sakit. Orang itu datang membawa travel bag dan ada dialog yang menyatakan kedatangannya menggunakan kereta api. Contoh lain, misalnya seorang ibu menelepon anaknya karena ayahnya mendadak pingsan. Adegan tersebut tidak mungkin digambarkan dengan anaknya yang langsung datang. Agar logis, harus ditambah adegan lain meskipun adegan tersebut tidak terdapat dalam naskah cerita.

2. Pembuatan Naskah Drama

Sebuah lakon yang disusun sendiri ataupun diambil dari cerita lain harus disusun dalam bentuk naskah drama. Dalam naskah drama terdapat informasi mengenai tokoh-tokohnya, dialog antartokoh, monolog, akting pemain, latar cerita, perlengkapan, dan kostum yang dikenakan.

a. Menulis Sebuah Naskah/Lakon

Dalam menyusun suatu naskah lakon (cerita), ada beberapa hal yang pelu diketahui, yaitu sebagai berikut.

1) Sumber Cerita

Sumber cerita dapat diambil dari pengalaman hidup, baik dari diri sendiri maupun orang lain serta pengamatan terhadap segala sesuatu di sekitar kalian. Selain itu, sumber cerita dapat dikembangkan pula dari koran, majalah, cerita rakyat, dan sebagainya.

2) Jenis Cerita

Jika kalian telah menemukan sumber cerita maka kalian tentukan jenis cerita yang akan ditulis, apakah dalam bentuk tragedi, komedi, horor, atau laga. Hal itu berhubungan dengan setting cerita, tokoh-tokoh, adegan, dan dialog. Adapun jenis-jenis cerita adalah sebagai berikut. a) Tragedi, yaitu cerita yang berakhir dengan kesedihan/duka lara atau kematian. b) Komedi, yaitu cerita yang lucu. Jenisnya ada empat, yang berupa

(1) komedi situasi, yaitu cerita lucu yang kelucuannya bukan berasal dari para tokohnya, melainkan dari situasinya;

(2) komedi slaptic, yaitu cerita lucu yang dibuat dengan adegan yang menyakiti para tokohnya;

(3) komedi satire, yaitu cerita lucu dengan sindiran tajam; dan

(4) komedi farce, yaitu cerita lucu yang dibuat dengan dialog dan adegan-adegan yang lucu.

c) Lagalaction, yaitu cerita yang lebih mengutamakan adegan-adegan perkelahian atau  peperangan.

d) Misteri, yaitu cerita yang mengandung unsur ketegangan, yang berupa

(1) cerita horor, yaitu cerita yang mengandung unsur menakutkan dan ketegangan karena berkaitan dengan makhluk halus;

(2) cerita kriminal, yaitu cerita yang berhubungan dengan kasus pembunuhan, peram- pokan, dan sebagainya; serta

(3) cerita mistik, yaitu cerita yang berhubungan dengan unsur-unsur gaib, seperti dukun.

e) Melodrama, yaitu cerita yang mengandung unsur melankolis dan sentimentil.

3) Tema Cerita

Tema cerita dibuat berkaitan dengan sasaran yang akan dituju. Ada beberapa jenis tema, misalnya percintaan, persahabatan, keluarga, asimilasi budaya, sosial, kemanusiaan, balas dendam, dan petualangan.

4) Menciptakan Tokoh Protagonis

Tokoh protagonis merupakan tokoh utama yang berperan sebagai penggerak cerita. Tidak ada aturan mutlak dalam menciptakan tokoh protagonis. Artinya, hal itu diserahkan kepada penulis. Jumlah tokoh protagonis dapat lebih dari satu, tidak harus tampan atau cantik, dan tidak harus berwujud manusia. Tokoh ini memiliki sisi kemanusiaan yang baik. 5) Menciptakan Konflik

Agar cerita dapat bergerak, penulis harus menciptakan gangguan-gangguan kepada tokoh protagonis sehingga tokoh protagonis akan beraksi untuk mengatasi gangguan tersebut. Gangguan-gangguan tersebut berupa konflik, yakni ketegangan atau pertentangan dalam

cerita.

6) Menciptakan Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis merupakan tokoh yang secara aktif menghalang-halangi jalannya tokoh protagonis. Sebagaimana tokoh protagonis, tidak ada batasan-batasan khusus dalam menentuan tokoh antagonis, seperti jumlah tokoh, karakter, fisik tidak harus yang jelek, dapat berupa binatang, hantu, dan sebagainya.

7) Menciptakan Plot

Plot adalah rangkaian peristiwa yang ada hubungan sebab-akibat. Plot merupakan hal yang penting dalam cerita karena tanpa ada hubungan sebab-akibat, cerita hanya akan menjadi suatu kronologis peristiwa.

8) Latar Cerita

Latar adalah tempat dan waktu peristiwa tersebut berlangsung. Latar penting untuk menciptakan unsur dramatik dan artistik. Unsur dramatik, misalnya dalam kisah-kisah percintaan yang mendebarkan, mengharukan, ataupun dalam kisah misteri untuk menciptakan suasana yang mencekam dan menakutkan. Sementara unsur artistik, misalnya dalam memilih tempat dengan keindahan taman, kesejukan di bawah pepohonan yang rindang. 9) Akhir Cerita

Akhir cerita merupakan hal yang ditunggu karena menjadi harapan bagi penonton akan akhir kisah tokoh protagonis. Akhir cerita dapat bahagia atau happy ending jika tokoh protagonis berhasil mencapai tujuannya, sedangkan akhir cerita yang menyedihkan atau sad ending jika tokoh protagonis gagal dalam mencapai tujuannya.

b. Mengubah Karya Sastra

Menyusun naskah drama merupakan upaya mengubah karya sastra menjadi sebuah naskah drama. Maksudnya, mengambil cerita dari sebuah cerpen atau novel, kemudian disusun sesuai dengan media yang digunakan. Pada karya teater, media yang digunakan adalah visual. Oleh karena itu, cerpen atau novel tersebut diadaptasi untuk disusun menjadi naskah drama (skenario).

Rangkuman

1. Adegan-adegan yang ada dalam pementasan bergenre nonrealis bertentangan dengan hukum realisme, contohnya jika dalam realisme berjalan harus mirip dengan kenyataan yang ada maka dalam nonrealisme bisa dibuat berbeda seperti dilebih-lebihkan.

2.Teater dan isu sosial memiliki hubungan saling berkaitan. Teater hidup memberi respons pada isu realitas sosial, sedangkan permasalahan dalam realitas sosial bisa diselesaikan dengan ide yang disalurkan melalui teater.

3. Berikut ini jenis karakter yang biasa digunakan dalam penokohan teater.

a.Flat character (perwatakan dasar)

b.Round character (perwatakan bulat)

C.Teatrikal

d. Karikatural

4. Naskah adalah sebuah cerita atau kisah yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku dialog yang dipentaskan.

5. Dalam menyusun suatu naskah lakon (cerita), ada beberapa hal yang perlu diketahui, sebagai

berikut.

a.Sumber cerita.

b. Jenis cerita.

C.Tema cerita.

d. Menciptakan tokoh protagonis.

e. Menciptakan konflik.

f. Menciptakan tokoh antagonis.

g. Menciptakan plot.

h. Latar cerita.

i. Akhir cerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://borrowmarmotforester.com/ikk6dgxp6?key=2f06e78c20e057d49e30985f343b0f39 https://borrowmarmotforester.com/vku0xehca5?key=60798e1926f76e1ac3b0e649820b6850 https://pjjpp.com/fullpage.php?section=General&pub=758948&ga=g